Saturday, November 19, 2011 in , ,

Goretan Kecil Manusia Bertubuh Baja

Ini sebenernya unek-unek biasa yang gue rangkai sedemekian rupa biar konsepnya tuh kayak gue jago sastra(Aih) hahaa ngga ngga serius ini unek-unek biasa, bacanya santai, resapi kata demi kata. Pasti kalian bingung kan, gue, Septi, Nur Khaeriyah Septiana, anak pertama, kakak dari ke 5 adik-adiknya, bisa menulis secanggih ini? Bingung, hahaha this is my hidden talent :p


 Tertatih lelah menopang buntalan semen yang bersatu dengan badannya yang berkeringat. Sebentar ia mengelap air keringat yang bercucuran hasil jerih payahnya berbulan-bulan membangun jembatan kota. Yang menjadi penghubung distrik selatan dan timur yang menjadi penompang industrial. Yang nantinya akan menjadi jalur lalu lintas utama dan pokok setiap harinya.
Mereka kini berpencar. Berpencar mengerjakan tugasnya masing-masing. Ada sekumpulan yang mengangkut buntalan semen, sekumpulan mengangkut batu-bata beratus-ratus balok menggunakan gerobak roda tiga, adapula yang mengangkatnya melalui urat-urat yang dibaluti kulit tangan yang kebal akan sengatan matahari itu. Adapula yang mengaduk-aduk adonan semen,pasir,air menggunakan cangkul. Ada sekumpulan yang mulai mengerahkan tenaganya untuk membuat kerangka jembatan itu. Mereka terlatih. Terlatih untuk berpanas-panasan. Terlatih untuk bekerja sama. Terlatih untuk tidak menjadi pengeluh. Terlatih untuk membawa beban yang berat. Bahkan beban hidup mereka sendiri. Ya , melakukan profesi ini sangat membutuhkan tenaga dan urat-otot yang sangat kuat. Dengan gaji yang tidak seberapa. Dan tekanan yang sangat berasa. Tekanan para mandor dan para orang-orang sok penguasa yang membuat mereka merelakan waktu malam dan weekend-nya bersama anak-anak dan istri mereka.
Kalian pasti pernah melihat para kuli ini, bertelanjang dada berbalut tanah merah yang mereka gali di kedalaman tanah yang cukup dalam. Mengelap keringat yang keluar dari pori-pori tubuhnya yang semakin kelelahan. Menjadikan bajunya sebagai kipas dan handuk pengelap keringat. Kadang mereka juga menatap pandangan ke arah jalan kosong. Kosong. Hanya ada ia dan segudang nasib yang ia pikirkan. Tentang kontrakan yang belum dibayar. Tentang susu anaknya yang sekarang telah jarang diberikan. Tentang istri yang selalu menunggu ia pulang, walaupun sudah lewat tengah malam.
Resiko yang sudah menjadi ‘janji abadi’ mereka adalah, mereka harus rela menjadi pelampiasan sang pemimpin, kalau kerja mereka salah. Atau mungkin salah si pemimpin,memberikan rencana konstruksi yang melenceng kepada para pesuruhnya. Tapi tetap peraturannya: pemimpin selalu benar. Kalau pemimpin melakukan kesalahan, lihat peraturan nomor 1! Resiko lainnya, mereka nyatanya tidak mendapatkan fasilitas yang layak untuk mereka tinggal dalam proyek besar. Terkadangpun kerangka-kerangka jembatan mereka jadikan tempat teduh mendadak. Berteduh dari teriknya matahari. Berteduh dari hujan. Dan berteduh pula dari rintihan nasib mereka. Berteriak jauh di dalam hati mereka, sehingga kita tidak bisa mendengarkannya. Jangankan kita, mungkin telinga mereka pun sengaja mereka tulikan, supaya masalah itu terpendam, SEDIKIT.
Bukan hanya fasilitas seperti rumah saja yang tidak layak. Kadang makan sehari-hari mereka juga mereka dapatkan dari para warga setempat. Tapi MUNGKIN, kesempatan mungkin sekarang  kecil sekali,karena warga bumi ini sudah memuja individualisme. Kadang kita pernah lihat pula warteg atau warung nasi yang padat dengan manusia bertubuh baja ini. Guratan keringat yang masih setia menempel di lengan, kepala bahkan baju yang sudah menyatu dengan tubuh mereka, mereka tak hiraukan. Hal yang terpenting sekarang adalah: menyenangkan perut mereka. Ya setidaknya perut mereka masih terurusi agar bisa memberikan sejuta senyuman untuk keluarganya dirumah, karena mereka pulang membawa uang, upah dari kerja mereka selama berbulan-bulan.
Original Post: Septi

Leave a Reply

If You like this post, gimme some fabulous words. If you aren't like this post, LEAVE IT! Thanks :)