Goretan Kecil Manusia Bertubuh Baja
Ini sebenernya unek-unek biasa yang gue rangkai sedemekian rupa biar konsepnya tuh kayak gue jago sastra(Aih) hahaa ngga ngga serius ini unek-unek biasa, bacanya santai, resapi kata demi kata. Pasti kalian bingung kan, gue, Septi, Nur Khaeriyah Septiana, anak pertama, kakak dari ke 5 adik-adiknya, bisa menulis secanggih ini? Bingung, hahaha this is my hidden talent :p
Tertatih lelah menopang buntalan semen yang
bersatu dengan badannya yang berkeringat. Sebentar ia mengelap air keringat
yang bercucuran hasil jerih payahnya berbulan-bulan membangun jembatan kota.
Yang menjadi penghubung distrik selatan dan timur yang menjadi penompang
industrial. Yang nantinya akan menjadi jalur lalu lintas utama dan pokok setiap
harinya.
Mereka
kini berpencar. Berpencar mengerjakan tugasnya masing-masing. Ada sekumpulan
yang mengangkut buntalan semen, sekumpulan mengangkut batu-bata beratus-ratus
balok menggunakan gerobak roda tiga, adapula yang mengangkatnya melalui
urat-urat yang dibaluti kulit tangan yang kebal akan sengatan matahari itu.
Adapula yang mengaduk-aduk adonan semen,pasir,air menggunakan cangkul. Ada
sekumpulan yang mulai mengerahkan tenaganya untuk membuat kerangka jembatan itu.
Mereka terlatih. Terlatih untuk berpanas-panasan. Terlatih untuk bekerja sama.
Terlatih untuk tidak menjadi pengeluh. Terlatih untuk membawa beban yang berat.
Bahkan beban hidup mereka sendiri. Ya , melakukan profesi ini sangat
membutuhkan tenaga dan urat-otot yang sangat kuat. Dengan gaji yang tidak
seberapa. Dan tekanan yang sangat berasa. Tekanan para mandor dan para
orang-orang sok penguasa yang membuat mereka merelakan waktu malam dan
weekend-nya bersama anak-anak dan istri mereka.
Kalian
pasti pernah melihat para kuli ini, bertelanjang dada berbalut tanah merah yang
mereka gali di kedalaman tanah yang cukup dalam. Mengelap keringat yang keluar
dari pori-pori tubuhnya yang semakin kelelahan. Menjadikan bajunya sebagai
kipas dan handuk pengelap keringat. Kadang mereka juga menatap pandangan ke
arah jalan kosong. Kosong. Hanya ada ia dan segudang nasib yang ia pikirkan.
Tentang kontrakan yang belum dibayar. Tentang susu anaknya yang sekarang telah
jarang diberikan. Tentang istri yang selalu menunggu ia pulang, walaupun sudah
lewat tengah malam.
Resiko
yang sudah menjadi ‘janji abadi’ mereka adalah, mereka harus rela menjadi
pelampiasan sang pemimpin, kalau kerja mereka salah. Atau mungkin salah si
pemimpin,memberikan rencana konstruksi yang melenceng kepada para pesuruhnya.
Tapi tetap peraturannya: pemimpin selalu benar. Kalau pemimpin melakukan
kesalahan, lihat peraturan nomor 1! Resiko lainnya, mereka nyatanya tidak
mendapatkan fasilitas yang layak untuk mereka tinggal dalam proyek besar.
Terkadangpun kerangka-kerangka jembatan mereka jadikan tempat teduh mendadak.
Berteduh dari teriknya matahari. Berteduh dari hujan. Dan berteduh pula dari
rintihan nasib mereka. Berteriak jauh di dalam hati mereka, sehingga kita tidak
bisa mendengarkannya. Jangankan kita, mungkin telinga mereka pun sengaja mereka
tulikan, supaya masalah itu terpendam, SEDIKIT.
Bukan
hanya fasilitas seperti rumah saja yang tidak layak. Kadang makan sehari-hari
mereka juga mereka dapatkan dari para warga setempat. Tapi MUNGKIN, kesempatan
mungkin sekarang kecil sekali,karena
warga bumi ini sudah memuja individualisme. Kadang kita pernah lihat pula
warteg atau warung nasi yang padat dengan manusia bertubuh baja ini. Guratan
keringat yang masih setia menempel di lengan, kepala bahkan baju yang sudah
menyatu dengan tubuh mereka, mereka tak hiraukan. Hal yang terpenting sekarang
adalah: menyenangkan perut mereka. Ya setidaknya perut mereka masih terurusi
agar bisa memberikan sejuta senyuman untuk keluarganya dirumah, karena mereka
pulang membawa uang, upah dari kerja mereka selama berbulan-bulan.
Original Post: Septi


Leave a Reply
If You like this post, gimme some fabulous words. If you aren't like this post, LEAVE IT! Thanks :)